Selasa, 30 November 2010

SEJARAH KOTA SUMENEP

Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang telah memimpin kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep.
Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati, pararaton, dan sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis dan kultural, selain itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.
JAMAN PEMERINTAH KERAJAAN ARYA WIRARAJA
Arya Wiraja dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :

Adipura Park



Adipura Park is located in the heart of the city, faced to the Great Mosque. Adipura Park is surrounded with various kinds of plantations. It is a place for taking a rest in the evening, suitable for family recreation, and enjoy regional foods like Bakso, Fried Rice, Fried Noddle, Sate and Kaldu. In the morning at about 6.00 am till 8.00 am, it is usually full of young people or youth to take a walk around, especially on holiday and Sunday.
Adipura Park is kind of city tour in Sumenep that is Sumenep gardens directly opposite the great mosque. The visitors can spend their tired day here with enjoy the fresh and the green tree around the park. There many merchants here, such as; merchants of foods, toys, accessories, etc.

contoh batik SUMENEP

Batik - Sumenep
batik_01
batik_02
batik_03
Batik 01

sejarah kerapan sapi

ASAL MULA KERAPAN SAPI Cetak halaman ini
Oleh : Bangkalan Memory   
Jumat, 14 September 2007
 
Kerapan Sapi adalah permainan adu cepat balapan sapi khas Pulau Madura. Kesenian ini pada mulanya berasal dari Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep atas prakarsa dari Pangeran Katandur pada akhir abad 13.

Awalnya ingin memanfaatkan tenaga memanfaatkan tenaga sapi sebagai pengolah sawah. Brangkat dari ketekunan bagaimana cara membajak sapinya bekerja ,mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah tandus pun berubah menjadi tanah subur.
 
Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja warga masyarakat desa mengikuti jejak Pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh Pulau Sapudi yang semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah dan jadilah daerah yang subur makmur.

LOMBANG BEACH





Pantai Lombang di Kecamatan Batang-Batang adalah salah satu objek wisata terbaik di Kabupaten Sumenep. Tak heran jika wisatawan mancanegara (wisman) banyak yang terpikat dengan keindahan pantai dan cemara udangnya. Mengapa?


Desir angin cukup dingin malam itu. Ombak yang berdebur kalah dengan riuh-rendahnya suara puluhan orang. Padahal, pada hari biasanya, hanya desir angin dan deburan ombak yang terdengar di Pantai Lombang pada malam hari.

Ya, kemarin malam memang tampak suasana lain di pantai utara itu. Pantai Lombang mendadak ramai. Sebabnya, sebanyak 70 wisman lagi kamping di pantai itu.

Puluhan wisman itu berasal dari Denmark, Inggris, Australia, India, dan Pakistan. Mereka berkemah di pantai setelah diajak salah satu biro perjalanan wisata di Jakarta. Setiap tahunnya ada saja biro perjalanan yang mengajak wisman mengunjungi Pantai Lombang. Mereka tak hanya melihat pantai di siang hari, juga suasana di malam hari.

Akulturasi pada Keraton Sumenep dan Masjid Jamik di Madura

Bila sejenak menyeberang ke Pulau Madura, 90 kilometer dari Pelabuhan Bangkalan, kita akan menjumpai kota yang terkenal dengan julukannya ”Putri Koneng” atau Sumenep.
Pada abad ke-12, di Sumenep berdiri kerajaan dan baru pada tahun 1762 Pangeran Notokusumo atau Panembahan Sumolo mendirikan keraton dengan arsiteknya Liaw Piau Ngo.
Karena kekaguman raja terhadap desain Liaw Piau Ngo, beliau meminta untuk dibangunkan masjid tepat di depan keraton pada tahun 1771. Masjid itu kini dikenal dengan nama Masjid Jamik Sumenep.

oleh: Lilianny S Arifin

Keraton ini pernah dipugar pada tahun 1975 dan sampai sekarang menjadi obyek pariwisata yang sangat bersejarah di Madura. Di sana kita dapat mempelajari nilai-nilai akulturasi yang terjadi lebih dari 200 tahun lalu.

Bila berkunjung ke keraton ini, kita akan disambut gerbang labang mesem. Gerbang ini dari depan tampak bersusun tiga. Lantai dua berfungsi sebagai tempat prajurit penjaga keamanan dan lantai tiga berisi lonceng yang akan dibunyikan bila ada tamu datang, sebagai tanda bagi para penjaga keraton di dalam bahwa ada tamu datang.
Mirip dengan keraton di Jawa Tengah, Keraton Sumenep mempunyai pendopo yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan upacara adat. Dari halaman yang luas tampak bangunan pendopo berkesan kokoh, tetapi ramah. Di bagian atap dapat kita temukan detail nuansa atap kelenteng China, sedangkan kolom-kolomnya terlihat kokoh seperti bangunan zaman kolonial yang mempunyai ketebalan satu setengah bata.

Pada bagian dalam, langit-langit tertutup dengan papan-papan kayu yang sangat rapi dicat warna kuning. Menurut penjaga keraton, warna kuning tetap dipertahankan karena melambangkan kekuningan warna kulit permaisuri Ratu Ayu Tirto Negoro yang lebih dikenal dengan nama Putri Koneng (kuning). Dia adalah putri dari kerajaan di China.
Klungkungan menghubungkan ruang pendopo dengan bagian dalam keraton. Ruang berbentuk lorong terbuka ini didukung kolom-kolom berukuran 40 x 40 cm dari batu bata. Bagian dalam keraton adalah tempat raja serta keluarganya bersemayam dan serambi kanan-kiri tempat para pembantu rumah tangga tinggal.

Bila menengok kamar tidur raja, kita dapat menemukan ranjang yang masih asli dengan bentuk ukiran mirip batik pekalongan bermotif paduan antara gambar burung dan bunga. Warna yang cerah didominasi merah dan kuning. Di bagian timur pendopo ada kolam keputren, mirip Taman Sari di Keraton Yogyakarta dan fungsinya sama, yaitu untuk mandi para putri raja.

Di bagian kiri gapura ada bangunan yang disebut kantor koneng, merupakan tempat kerja Ratu Ayu Tirto Negoro, dan sekarang dijadikan museum alat-alat rumah tangga. Banyak koleksi keramik Cina yang boleh dibeli dengan harga relatif murah dibandingkan dengan usianya.

Masjid Jamik

Dari keraton kita dapat melayangkan pandangan ke Masjid Jamik. Sekilas kita menemukan kesan sebuah bangunan Eropa dengan warna kuning menyala di sana. Namun, bila kita tatap ujung paling atas bangunan, kembali kita menemukan bentukan yang mempunyai corak arsitektur kelenteng. Pada bagian ujung atap ditarik melengkung sedikit ke dalam.

Proses akulturasi juga terlihat pada bagaimana kolom-kolom dengan bentuk busur gaya Eropa dipadu dengan bentuk memolo atau mahkota gaya China. Bila masuk ke dalam masjid itu, kita akan menjumpai lukisan-lukisan mosaik pengaruh Arab.

Warna emas mencerminkan suatu kebesaran, keagungan, dan juga berhubungan dengan martabat seseorang. Hal ini dapat dihubungkan dengan budaya kaum Madura yang sangat bangga bila mereka dapat memakai perhiasan besar dari emas.

Dari dua karya arsitektur di atas, kita dapat belajar nilai akulturasi yang menyimpan makna sebagai perpaduan dari dua kebudayaan atau lebih. Perpaduan kebudayaan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk saling menumbuhkan toleransi, bukan untuk saling mendominasi, dan akhirnya melebur menjadi satu.

Sabtu, 27 November 2010

Museum & Kraton Sumenep



Seratus meter dari timur Taman Adipura ada lokasi Museum dan Keraton Sumenep. Bangunan tua di sisi kanan jalan adalah tempat untuk menyimpan kereta emas, hadiah dari Ratu Inggris untuk Raja Sumenep. Selain itu, juga digunakan untuk menjaga warisan lain, seperti; tua kursi, meja tua dan warisan lainnya.